Banyak yang bilang kalau semua yang instan pada akhirnya
akan memberikan efek yang kurang baik. Dalam tulisan ini gue mau bahas tentang
yang instan-instan juga. Benar sekali, topik tulisan gue kali ini adalah
tentang mi instan. Bagi mahasiswa, terutama anak kos, mi instan bukanlah hal
yang asing bagi mereka. Cerita tentang mi instan bergandengan dengan anak kos
telah melegenda, selevel dengan kisah romeo dan juliet. Jangan pernah ngaku
anak kos kalau belum pernah masak mi instan karena kehabisan duit ! Walaupun
kisah ini mungkin tidak berlaku bagi beberapa kalangan anak kos (baca kalangan
elit, red). Namun secara umum, mi instan telah identik dengan anak kos.
Himbauan akan bahayanya mi instan dengan segala macam
komposisi yang terkandung di dalamnya, seperti monosodium glutamat (MSG),
kandungan liling pada mi-nya, hingga pengawet yang ada didalamnya seakan tak
pernah dihiraukan oleh anak kos. Resiko dan ancaman yang datang juga tak pernah
mereka hiraukan. Resiko kanker, mutasi genetik, turunnya skor IQ, de el el.
Karena memang tidak ada pilihan lain.
Ya, dengan harga 1500 sampai 2000 perak, mi instan sering
menjadi alternatif makanan pengganjal perut bagi anak kos yang lagi bokek, yang
lagi ngirit, maupun yang lagi males keluar buat sekedar beli makan di warung.
Kadang-kadang gue kalo lagi males ngapa-ngapain, akhirnya cuma makan mi instan
yang mentah. Semua bumbu kecuali minyaknya, gue campur jadi satu. Trus mana
bisa kenyang kalo gak dimasak? Mudah aja, tinggal lo minum air agak banyak,
ntar di dalam lambung air sama mie-nya juga bakal kecampur. Sama kayak mi
instan yang di masak kan? Hanya saja bedanya tempat pencampuran airnya yang
tidak sama. Hehe.
Bicara mi instan pun sering diidentikkan dengan kehidupan
anak kos yang “nelangsa”. Yang sangat kasihan. Pernah gue punya temen, dan ini
adalah kisah nyata.dengan ekonomi kelurga yang kurang baik, dia sangat
beruntung bisa kuliah dengan beasiswa penuh. Tapi, karena uang biaya hidup baru
keluar setiap 3 bulan, maka kalau tanggal-tanggal tua pasti miris liat cara dia
bertahan hidup. Pernah suatu hari, ketika dalam kondisi seperti diatas, uang
yang dia miliki udah hampir ludes, hari-hari yang tersisa (kayak mau mati aja)
dia makan Cuma dengan mi instan doank. Ya, sehari dua kali. Dan ini terjadi
selama beberapa hari. Miris gue ngeliatnya. Pernah suatu hari itu dia mau makan
mi instan lagi, tapi gue cegah. Berhubung gue lagi ada rejeki, gue ajak aja dia
ke warung buat makan nasi.
Sebagai anak biologi, gue gak kurang informasi tentang
bahayanya makan mi instan yang terlalu sering. Tapi mau gimana lagi. Walaupun
kiriman ortu gue rasa cukup, tapi karena kadang gue pengen beli suatu barang,
maka mau tak mau gue akhirnya juga harus ngirit. Dan mi instan pun datang
menawarkan diri. Memang sebuah pilihan yang sulit. Inilah ralita yang harus
kita hadapi sebagai anak kos.